How to Lie with Statistic

BAGAIMANA STATISTIK DIJADIKAN SARANA UNTUK BERBOHONG ?

Oleh.M.Hidayat Roesli


Dariel Huff pernah menulis sebuah buku yang memukau, How to Lie with Statistic, bagaimana berbohong dengan statistik. Melalui buku ini, Huff menunjukkan bahwa statistik bisa–atau malah kerap kali–menjadi alat berbohong kepada publik yang sangat efektif. Sebagian lagi, statistik berbohong karena peneliti tidak cermat menganalisis. Peneliti gegabah mengambil kesimpulan. Tidak mencoba menyelami lebih jauh, apa yang ada di balik fakta.

Huff, kemudian menunjukkan berbagai peluang kebohongan. Kalau tidak hati-hati, kita bisa keliru menggunakan data. Kita telan mentah-mentah data yang disajikan beserta kesimpulannya. Padahal, banyak masalah yang perlu kita cermati lebih lanjut. Banyak pertanyaan yang harus kita ajukan secara cerdas.

Bagi kita yang begitu percaya pada data statistik tanpa mempertanyakan sedikit pun, boleh jadi kaget ketika membaca uraian Dariel Huff. Kita tercengang membaca karya illmuwan yang jago statistik ini. Justru karena pengetahuannya yang sangat mendalam pada bidang statistik itulah, ia bisa melahirkan tulisan yang sangat mengejutkan tersebut.

Bicara tentang statistik, Disraeli lebih sinis lagi. Ia mengatakan, di dunia ini cuma ada tidak macam kebohongan: lies, damned lies, dan statistic (dusta, dusta yang keji, dan statistik). Data statistik yang termasuk kategori dusta, kerap kali muncul pada pseudo-research (penelitian semu). Sepanjang yang saya ketahui, ada tiga macam penelitian: common sense research, purposive research, dan academic research. Diantara ketiga jenis tersebut, academic research atau disebut juga scientific research merupakan penelitian yang paling dapat dipercaya. Tetapi saya tidak tahu, penelitian yang dilakukan dosen untuk mengejar credit point semata-mata, apakah dengan sendirinya dapat dianggap sebagai penelitian akademis (academic research), ataukah termasuk kategori purposive research–penelitian bertujuan, yakni mengarahkan hasil penelitian sesuai keinginan untuk suatu kepentingan. Common sense research–penelitian anggapan umum–jelas termasuk pseudo-research. Meskipun datanya dapat dilihat sebagai masukan awal untuk melihat fenomena sosial, tetapi hasil penelitian tidak bisa dipakai untuk membuat kesimpulan tentang realitas sosial yang ada.

Penelitian yang menunjukkan bahwa 97,05% cewek Yogya sudah tidak perawan lagi, termasuk contoh common search research. Sekurangnya, ada dua kemungkinan munculnya data seperti ini. Pertama, peneliti melakukan manipulasi data. Manipulasi ini berbentuk menyortir data yang tidak diinginkan, menyembunyikan data lain yang dibutuhkan, mendongkrak (mark up) data yang ada, atau memang secara selektif memilih subjek yang sangat potensial bermasalah. Kedua, peneliti tidak terlalu menguasai meteodologi penelitian sehingga salah dalam mengambil sampel atau tidak memiliki penguasaan logika yang baik. Kemungkinan pertama termasuk kekejian, kejahatan akademis, dan sekaligus penghinaan terhadap martabat kaum muslimah di Yogya. Sedangkan, kemungkinan kedua termasuk kebodohan yang perlu kita kasihani. Katakanlah data yang diungkapkannya benar, tetap saja ada masalah kekeliruan logika: fallacy of dramatic instance. Sumber data yang diambil sebagai sampel, populasinya sangat kecil, tapi tiba-tiba digeneralisasi sebagai realitas cewek Yogya.

Alhasil, menggunakan data statistik perlu cerdas. Hasil penelitian yang disajikan kepada kita harus ditanyakan, apakah secara metodologis benar? Kalau benar, apakah secara logika juga benar? Bisa saja secara metodologis benar, tetapi secara logika salah. Methodologically right logically wrong. Misalnya, pernah suatu ketika ada penelitian tentang dampak TV. Ada dua kelompok subjek–anak–yang diteliti. Yang satu, nonton film-film yang berbau kekerasan ketika berada di sekolah selama dua minggu. Yang satunya lagi, nonton film yang tidak ada unsur kekerasannya, juga di sekolah selama dua minggu. Setelah subjek itu diteliti, apakah film kekerasan berpengaruh pada agresivitas anak? Hasilnya? Tidak ada perbedaan yang signifikan. Penelitian ini sempat diekspos di beberapa media dan orang mengangguk-angguk. Tetapi, mereka lupa bertanya, apa yang dilakukan anak selama di rumah? Bagaimana dengan pengaruh tayangan kekerasan yang dilihat selama bertahun-tahun sebelum penelitian? Bukankah tayangan yang dilihatnya lebih dulu selama bertahun-tahun menciptakan eikonoklasme–pengikutan, gampangnya peniruan–yang susah dihapus?

…. Sebagai penutup, ingin saya nukilkan perkataan Lin Yutang, ahli bahasa dan filsuf Cina yang hidup pada 1895-1976. Kata Lin Yutang, “Untuk menjadi seorang penulis, Anda harus memiliki rasa ingin tahu tentang apa saja di sekeliling Anda, merasakan secara lebih mendalam, dan lebih memahami berbagai hal dibanding orang lain.”

——-
Catatan:
1) Tulisan di atas merupakan kutipan dari Mohammad Fauzil Adhim, “Cerdas Menggunakan Data”, Pengantar dalam Robi’ah Al-Adawiyah, Kenapa Harus Pacaran?! (Bandung: DAR! Mizan, 2004), hlm. 25-29 dan 32.

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar :